Kasus Dunia Pemasaran

Aplikasi Penyusunan Anggaran

Analisa anggaran usaha Anda

Cara Mudah Menyusun dan Mengevaluasi Anggaran


Pada tahun 2006, industri makanan dan minuman diguncang oleh isu formalin. Konsumen Indonesia yang sebagian besar sebelumnya hanya tahu bahwa formalin adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan mayat dan binatang mati, sungguh terperanjat. Tidak tanggung-tanggung, ternyata senyawa jahat ini diketemukan di 50 pasar tradisional. Kalau observasi dilakukan di seluruh Indonesia, kemungkinan besar, formalin ini dapat ditemukan di ratusan atau ribuan pasar tradisional di Indonesia.

Media seperti televisi maupun media cetak, ramai-ramai memberitakan senyawa yang terdengar mengerikan ini. Karena gencarnya pemberitaan oleh media, maka makanan seperti tahu, ikan, tempe dan ayam, langsung mengalami penurunan. Konsumen merasa ngeri. Demi keuntungan, produsen berani menggunakan formalin. Ada sebagian produsen yang walaupun tahu, tetapi sengaja menggunakan. Sebagian lain, karena tidak tahu bahwa senyawa ini berbahaya.


Sebelum tahun 2006, isu formalin pernah mencuat di tahun 1997. Tapi, pemberitaan tidak sedahsyat di tahun 2006. Hanya kurang dari 1 minggu, kemudian lenyap. Sembilan tahun kemudian, formalin, sang tokoh antagonis ini muncul kembali. Ternyata, isu formalin juga reda tetapi dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat konsumen menjadi tenang, Penjualan tahu dan iklan, baru kembali normal kembali setelah 3 bulan.

Setelah reda dengan formalin, kemudian di akhir tahun 2006 muncullah kasus bahan pengawet lain. Jadi, sekarang bukan 9 tahun lagi tetapi muncul dalam tahun yang sama, atau kurang dari satu tahun. Setelah Badan POM menghimbau kepada beberapa produsen besar untuk menarik produknya atau untuk mengganti labelnya dengan mencantumkan komposisi bahan pengawet yang benar, konsumen Indonesia, terutama golongan atas terlihat mulai mengurangi pembelian merek-merek minuman yang sering diberitakan tersebut. Yang membuat isu ini menjadi pembicaraan masyarakat oleh karena yang kena imbasnya adalah perusahaan besar. Merek-mereknya sudah sangat familiar di telinga konsumen.

Sebagian konsumen merasa marah. Mereka menyalahkan pemerintah yang kurang tegas. Sebagian merasa marah kepada perusahaan yang memproduksi merek-merek yang dinyatakan mengandung bahan pengawet yang melebihi batas ambang yang diperbolehkan. Akibatnya, memang terlihat beberapa merek yang masuk daftar hitam mengalami penjualan yang menurun tajam.

Lebih ramai lagi, karena kemudian para pesaing yang tidak terkena, memanfaatkan momentum ini. Jelas, bagi merek yang tidak terkena, sebuah momentum oksigen yang berharga untuk dapat merebut pangsa pasar dalam waktu yang singkat. Hingga akhir tahun 2006, masih saja terlihat beberapa perusahaan yang menambahkan iklan “dijamin tanpa bahan pengawet” dalam materi iklan.

Setelah pemerintah mulai membantu mengedukasi bahwa bahan pengawet seperti natrium benzoat atau kalium sorbat adalah pengawet yang termasuk aman, asal tidak melebihi batas ambang yang sudah ditetapkan, terlihat mulai reda. Konsumen jadi tahu bahwa memang bahan pengawet yang termasuk food grade, diijinkan oleh badan-badan pangan dunia, asal tidak melebihi batas ambang yang telah ditetapkan.

Dampak negatif dari bahan pengawet yang non food grade ini biasanya bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Jangka pendek atau yang sering disebut akut adalah gejala yang langsung terjadi setelah mengkonsumsi seperti pusing, mual, alergi, gatal-gatal. Dampak negatif jangka panjang atau yang disebut kronik adalah seperti gangguan pencernaan, ginjal, hati maupun syaraf. Selain itu, bahan seperti formalin adalah bersifat karsinogen atau dapat menyebabkan kanker. Karena dampak yang sering terjadi adalah jangka panjang, maka wajar saja, 90% dari konsumen Indonesia langsung cepat melupakan hal ini.

Ini sekali lagi membuktikan kebenaran proposisi yang sering saya kemukakan bahwa konsumen Indonesia, mayoritas memiliki memori pendek. Mereka tidak sanggup atau yang lebih tepat mereka tidak mau berpikir jangka panjang. Mereka lebih suka dengan manfaat produk dalam jangka pendek dan kuatir terhadap resiko jangka pendek. Mereka tidak kuatir dengan resiko yang bersifat jangka panjang. Mereka cepat emosional bila terdapat isu tetapi cepat pula untuk melupakan.

Bila dibandingkan dengan kasus-kasus di masa lalu seperti kasus minyak babi, kasus bahan pengawet ini, jelas tidaklah seberat itu. Nyatanya, merek-merek yang pernah terkena isu haram saja, kemudian dengan cepat dapat bangkit kembali dan mampu merebut kepercayaan konsumen untuk mengkonsumsi lagi. Jadi, sangat mudah bila diduga bahwa kasus bahan pengawet ini akan segera reda.

Tidak mengherankan, sebagian besar produsen masih merasa optimis bahwa penjualan akan normal kembali. Mereka hafal benar dengan sikap dan perilaku konsumen di Indonesia.

Saat ini, hanya sekitar 10% konsumen Indonesia yang masuk golongan yang serius dengan masalah kesehatan. Mereka umumnya berusia di atas 30 tahun dan memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi. Selain itu, mereka memiliki tingkat pendapatan lebih dari Rp 3 juta rupiah per bulannya. Sisanya, 30% adalah mereka yang sadar akan kesehatan tetapi tidak terlalu serius. Mereka tahu akan pentingnya kesehatan tetapi masih memiliki toleransi yang tinggi akan resiko yang mungkin timbul. Sisanya, sekitar 60%, boleh dikatakan tidak concern sama sekali. Tidak mengherankan, pasar rokok di Indonesia tetap saja sangat tinggi. Mereka memilih untuk memperoleh kenikmatan sesaat dan rela mengorbankan kesehatan jangka panjang.

Yang menarik, apakah hal ini akan terjadi untuk seterusnya? Apakah konsumen Indonesia terus menerus memaafkan merek yang nyata-nyata melanggar ketentuan badan POM? Apakah mereka tetap tidak terlalu peduli dengan kesehatan mereka? Tentu saja tidak. Frekwensi kejadian akan adanya isu ini yang semakin pendek sudah menunjukkan bahwa produsen tidak boleh menganggap remeh tren ini. Konsumen sangat mungkin berubah. Jumlah konsumen yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan akan semakin meningkat.

Ada 3 faktor yang menjelaskan perubahan tren ini. Pertama, adalah faktor eksternal. Dalam konteks model perilaku konsumen, maka faktor eksternal yang mendukung perubahan ini adalah tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi. Pendidikan yang semakin tinggi, sudah pasti akan membuat konsumen dapat mengakses informasi yang lebih baik. Mereka memiliki pengetahuan yang semakin memadai untuk mengambil keputusan.

Konsumen dengan tingkat sosial ekonomi yang semakin tinggi, akan semakin memiliki harapan yang meningkat pula. Tidak mengherankan, mereka akan menyadari akan pentingnya kesehatan bagi mereka. Ketika kebutuhan dasar sudah mulai tercukupi, maka kebutuhan akan kesehatan akan mudah muncul. Ini merupakan suatu progresif yang alami.

Faktor eksternal lain yang akan mempengaruhi peningkatan tren kesehatan ini adalah regulasi. Tren menunjukkan bahwa pemerintah akan semakin keras untuk memperingatkan produsen di masa mendatang. Salah satunya karena tekanan dari media. Penegakan hukum yang semakin baik juga merupakan pendorong bagi produsen untuk lebih mentaati regulasi.

Faktor kedua adalah internal. Konsumen akan semakin menggunakan memori jangka panjang lebih dari sebelumnya. Jadi, persepsi yang tercipta dalam benak konsumen, adalah didasarkan atas pengetahuan dan bukan hanya pada level exposure. Mereka lebih banyak memproses informasi lebih banyak. Karena itu, pola pembentukan sikap terlebih dahulu dan baru perilaku akan lebih dominan. Atau, attitude yang membentuk behavior. Bagi konsumen yang suka menggunakan memori jangka pendek, lebih suka menggunakan pola perilaku terlebih dahulu dan baru terbentuk sikap terhadap suatu merek. Atau behavior membentuk attitude.

Faktor ketiga adalah tingkat persaingan. Tingkat persaingan yang semakin tajam, akan menjadi kontrol yang sangat baik untuk mendukung tren ini. Produsen umumnya takut melakukan pelanggaran terhadap regulasi, bukan karena protes dari konsumen tetapi protes dari sesama produsen. Selama ini, penggunaan bahan-bahan yang dilarang atau yang melebihi batas ambang dilakukan karena faktor biaya. Jadi, bila produsen ada yang menggunakan dan kemudian dapat menjual lebih murah, maka produsen lain akan cepat menghembuskan isu yang menjatuhkan. Apalagi, banyak media yang senang menangkap isu-isu seperti ini. Akhirnya, produsen berpikir ulang untuk melakukan pelanggaran.

Pesan bagi para marketer di Indonesia, sangat jelas. Tren seperti ini, haruslah disikapi dengan bijak. Salah satu implikasinya adalah dalam penetapan strategi positioning untuk mereknya. Kesehatan adalah salah satu dimensi yang memiliki potensi untuk mendukung kekuatan suatu merek dan mampu menciptakan perbedaan.

Tags :

Related : Kasus Dunia Pemasaran